16 December 2008
Mari membidik kesunyian malam ini
Hingga ia terjatuh berserakan
Terjerembab di dasar sungai kecil di sudut hati
Sungai yang mana lagi kawan ?
Bukankah hati kita telah kering ?
Teranggas dalam sepinya peradaban ini
Apa hatimu belum mati ?
Saat kekacauan meruah disana sini
Menghantui setiap kebebasan anak negeri
Kebebasan kita terpasung
Oleh rantai-rantai kehidupan yang tak kita pahami
Lalu mau apa ?
Bukankah bergerak saja kita tak bisa?
Atau kita tunggu saja
Uluran tangan kekar yang mau berbelas kasih pada semua
Atau kita memang harus mengiba dihadapnya
Agar derita kita terlihat begitu nyata
Ah, kenapa kita jadi pecundang, kawan
Mana langkahmu yang kemarin begitu kuat berderap
Mana senandungmu yang menyanyikan semangat menggebu
Atau itu semua kini telah luruh ?
Melebur jadi seonggok debu yang tercampakkan dan ditinggal berlalu
Mari kita bangkit, kawan
Menyatukan puing-puing hati kita yang berserakan
Tegapkan lagi badanmu
Ringankan lagi langkahmu
Hela nafas panjangmu
Hancurkan kesunyian yang menyergapmu
Dengan satu bidikan terarah dari tajamnya matamu
Berdoalah esok akan menjadi milikmu
Kebenaran tadi tak mau bersuara
Hanya menyisakan tanda tanya
Terkulai lesu di lidah para tersangka
Tapi entah siapa pembuat onarnya
Aku pun tak tahu jawabnya
Fakta terlalu enggan keluar dari sarangnya
Lantas aku mesti berbuat apa ?
Meneriakkan kebenaran yang tak ku tahu tentangnya
Atau meluapkan kegundahan dalam jiwa
Hanya rangkaian belas kasih yang bisa kupersembahkan
Tanda bahwa aku berduka atas semua
Semoga ada bimbing dalam langkahnya
Berharap saja, waktu kan menjawab segalanya
Tentang misteri dari angka-angka
Siapa tahu dia tercecer entah dimana
Dibalik ini semua,
Adakah tawa sinis yang meraja ?
Hmmmm... mungkin saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)